TAFSIR SURAH AL-FATIHAH (1-5)

Artinya :
 1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
4. Pemilik hari pembalasan.
5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus.
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

(Pembukaan) Makkiyyah, 7 ayat.
surah ini dinamakan Al-Fatihah —yakni Fatihatul Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini bacaan dalam salat dimulai. Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur ulama —seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena mereka tidak suka menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.
Al-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan.”Sesungguhnya Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan mengatakan bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya pun tidak suka menyebut surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.
Di dalam sebuah hadis sahih pada Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِوَالسَّبْعُ الْمَثَانِي   
وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ "

Alhamdu lillahi rabbil 'alamina adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul 'azim.
Surat Al-Fatihah  dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ) ,  juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:

" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ،

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ،

 قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي "

Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdu lilldhi rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." (Hadis)
Surat Al-Fatihah disebut pula Salat, karena ia merupakan syarat di dalam salat.
Surat Al-Fatihah dinamakan pula Syifa (الشِّفَاءُ) , seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa'id secara marfu, yaitu:

" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ"

Fatihatul kitab (surat Al-Fatihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun.
Surat Al-Fatihah dikenal pula dengan nama Ruqyah (الرُّقْيَةُ), seperti yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat (yang tersengat kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Sa'id (Al-Khudri):

" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ "

Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat Al-Fatihah itu adalah ruqyah?
Asy-Sya-bi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul Qur'an (fondasi Al-Qur'an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahir rahmanir rahim.
Sufyan ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah, karena surat Al-Fatihah sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis berpredikat mursal di bawah ini:

" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ

غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "

Ummul Qur'an merupakan pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.
Surat ini dinamakan pula surat As-Salah dan Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab Kasysyaf.
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah. dan Abul Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain Madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar, dan Az-Zuhri. Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan sebanyak dua kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat pertama lebih dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:

وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانِي

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)
Abu Lais As-Samarqandi meriwayatkan bahwa separo dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan separo yang lain diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh, dinukil oleh Al-Qurtubi darinya.
Surat Al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya delapan ayat, dan Husain Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini syaz (menyendiri).
Mereka berselisih pendapat mengenai basmalah-nya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan Al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan orang dari kalangan para sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan Al-Fatihah, seperti yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat, seperti yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan hanya kepada-Nya kita percayakan.
Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113.
Imam Bukhari dalam permulaan kitab Tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab karena semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ). Mereka menamakan panji atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya dengan sebutan "umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan seorang penyair bernama Zur Rummah, yaitu:

عَلَى رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا ... جِمَاعُ أمور لا 

نعاصي لَهَا أَمْرَا

Pada ujung tombak itu terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam mengerjakan segala urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului semua kota lainnya. dan menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun surat ini, dinamakan "Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai dengannya, dan para sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.
Penamaan surat Al-Fatihah dengan sebutan "As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan, dinamakan demikian karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada tiap-tiap rakaat, sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya insya Allah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ،

 أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ

 ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،

 عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ   

لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ

 الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada mereka Ibnu Abu Zi'b dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an: Surat Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz yang sama.

وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ:

حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ وَهْبٍ، 

أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ،

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،

 عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ،

وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي "

Abu Ja'far Muhammad ibnu Jarir At-Tabari mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi'b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan As-Sab'ul masani.

وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى

 بْنِ مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ

مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ،

 ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ،

ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ

 بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ

 الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ

 اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ

 رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ اللَّهِ

 الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ

 الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي أم الكتاب"

Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Musa ibnu Murdawaih mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ib-nu Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muham-mad ibnu Galib ibnu Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu Abdul Wahid Al-Mausuli. telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu lillahi rabbil 'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan bismillahir rahmanir rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah As-sab'ul mas'ani, Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.
Ad-Daruqutni meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal dengannya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka menafsirkan firman Allah Swt,"sab'an minal masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah termasuk salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi dalam pembahasan basmalah.
Al-A'masy meriwayatkan dari Ibrahim yang pernah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa engkau tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud menjawab, "Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada permulaan setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang dimaksud ialah mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup tidak diperlukan lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.
Suatu pendapat mengatakan bahwa surat Al-Fatihah merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga pendapat. Menurut pendapat lain, yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah Swt. berikut ini:

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Hai orang yang berselimut. (Al-Muddatstsir: 1)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis Jabir yang sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah firman-Nya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)
Pendapat  terakhir  inilah  yang   paling   sahih,   seperti   yang   akan diterangkan nanti pada pembahasan tersebut .


 Menurut Qira’ah Sab'ah,  huruf dal dalam firman-Nya,   "alhamdu lillahi," dibaca dammah, terdiri atas mubtada dan khabar.
Diriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah dan Rubah ibnul Ajjaj,
keduanya membacanya menjadi alhamda lillahi (الْحَمْدَ لِلَّهِ) dengan huruf dal yang di-fathah-kan karena menyimpan fi’l.
Ibnu Abu Ablah membacanya alhamdulillah dengan huruf daldan lam yang di-dammah-kan kedua-duanya karena yang kedua diikutkan kepada huruf pertama dalam harakat. Ia mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkan pendapatnya ini, tetapi dinilai syaz (menyendiri).
Diriwayatkan dari Al-Hasan dan Zaid ibnu Ali bahwa keduanya membacanya alhamdi lillahi dengan membaca kasrah huruf dal karena diseragamkan dengan harakat huruf sesudahnya.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna alhamdulillah ialah "segala syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada apa yang disembah selain-Nya dan bukan kepada semua apa yang diciptakan-Nya, sebagai imbalan dari apa yang telah Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya berupa segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya". Tiada seorang pun yang dapat menghitung semua bilangannya selain Dia semata. Nikmat itu antara lain adalah tersedianya semua sarana untuk taat kepada-Nya, kemampuan semua anggota tubuh yang ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal yang difardukan oleh-Nya. Selain itu Dia menggelarkan rezeki yang berlimpah di dunia ini buat hamba-Nya dan memberi mereka makan dari rezeki tersebut sebagai nikmat kehidupan buat mereka, padahal mereka tidak memilikinya. Dia mengingatkan dan menyeru mereka agar semuanya itu dijadikan sebagai sarana buat mencapai kehidupan yang abadi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan yang kekal untuk selama-lamanya. Maka segala puji hanyalah bagi Tuhan kita atas semua itu sejak permulaan hingga akhir.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa alhamdulillah adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya sendiri. termasuk di dalam pengertiannya ialah Dia memerintahkan hamba-Nya untuk memanjatkan puji dan sanjungan kepada-Nya. Seakan-akan Allah Swt. bermaksud, "Katakanlah oleh kalian, 'Segala puji hanyalah bagi Allah'!"
Ibnu Jarir mengatakan, adakalanya dikatakan "sesungguhnya ucapan seseorang yang mengatakan alhamdulillah merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi". Sedangkan ucapan seseorang "segala syukur adalah milik Allah" merupakan pujian kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan bantahannya yang kesimpulannya adalah "semua ulama bahasa Arab menyamakan makna antara alhamdu dan asy-syukru (antara puji dan syukur)". Pendapat ini dinukil pula oleh As-Sulami, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa puji dan syukur adalah sama pengertiannya, dari Ja'far As-Sadiq dan Ibnu Ata. dari kalangan ahlu tasawwuf. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ucapan "segala puji bagi Allah" merupakan kalimat yang diucapkan oleh semua orang yang bersyukur. Al-Qurtubi menyimpulkan dalil yang menyatakan kebenaran orang yang mengatakan bahwa kalimat alhamdulillah adalah ungkapan syukur, dia nyatakan ini terhadap Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa telah dikenal di kalangan mayoritas ulama muta-akhkhirin bahwa alhamdu adalah pujian dengan ucapan terhadap yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah dan yang muta'addiyah bagi-Nya, sedangkan asy-syukru tidaklah diucapkan melainkan hanya atas sifat yang muta'addiyah saja. Terakhir adakalanya diucapkan dengan lisan atau dalam hati atau melalui sikap dan perbuatan. sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair:
أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً: ... يَدِي وَلِسَانِي 

وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا
Nikmat paling berharga yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam, yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.
Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai yang paling umum maknanya di antara keduanya, pujian ataukah syukur. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut penyelidikan, terbukti memang di antara keduanya terdapat pengertian khusus dan umum. Alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru, yakni bila dipandang dari segi pengejawantahannya. Dikatakan demikian karena alhamdu ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyah. Engkau dapat mengatakan, "Aku puji keberaniannya," dan "Aku puji kedermawanannya," hanya saja pengertiannya lebih khusus karena hanya diungkapkan melalui ucapan. Lain halnya dengan asy-syukru yang pengertiannya lebih umum bila dipandang dari segi pengejawantahannya (realisasinya) karena dapat diungkapkan dengan ucapan. perbuatan. dan niat. seperti yang telah dijelaskan tadi. Asy-syukur dinilai lebih khusus karena hanya diungkapkan terhadap sifat muta'addiyah saja, tidak dapat dikatakan, "Aku mensyukuri keberaniannya," atau "Aku mensyukuri kedermawanan dan kebajikannya kepadaku." Demikianlah menurut catatan sebagian ulama muta-akhkhirin.
Abu Nasr Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan, pengertian alhamdu merupakan lawan kata dari azzam (celaan). Dikatakan hamdihir rajula, alhamduhu hamdan wamahmadah (aku memuji lelaki itu dengan pujian yang setinggi-tingginya); bentuk fail-nya ialah hamid, dan bentuk mafid-nya ialah mahmud.
Lafaz tahmid mempunyai makna lebih kuat daripada alhamdu. sedangkan alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru. Abu Nasr mengatakan sehubungan dengan makna asy-syukru, yaitu "sanjungan yang ditujukan kepada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari kebaikan yang telah diberikannya". Dikatakan syakar-tuhu atau syakartu lahu artinya "aku berterima kasih kepadanya", tetapi yang memakai lam lebih fasih. Sedangkan makna al-madah lebih umum daripada alhamdu, karena pengertian al-madah (pujian) dapat ditujukan kepada orang hidup. orang mati, juga terhadap benda mati, sebagaimana pujian terhadap makanan, tempat, dan lain sebagainya; dan al-madah dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebaikan, juga dapat ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyyah. Dengan demikian, berarti al-madah lebih umum pengertiannya (dari-pada alhamdu).


Firman Allah Swt., "ar-rahmanir rahim," keterangannya dikemukakan dalam Bab "Basmalah"; itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi.
Al-Qurtubi mengatakan, sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim sesudah firman-nya, "rabbil 'alamina, " tiada lain agar makna tarhib yang dikandung rabbul 'alamina dibarengi dengan makna targib yang terkandung pada ar-rahmanir rahim, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

نَبِّئْ عِبادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذابِي

 هُوَ الْعَذابُ الْأَلِيمُ

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Al-Hijr: 49-50)
Juga dalam firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-A'raf: 165)
Lafaz Rabb (Tuhan) dalam ayat tersebut mengandung makna tarhib, sedangkan ar-rahmanir rahim mengandung makna targib.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العقوبة 
ما
طمع في جنته أَحَدٌ وَلَوْ يُعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ

 اللَّهِ من الرحمة ما قنط من رحمته  أحد»
Seandainya orang yang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.


Sebagian ulama qiraah membacanya مَلِك, sedangkan sebagian yang lain membacanya مَالِكِ; kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan As-Sab'ah.
Lafaz maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya malki dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah huruf kaf dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din (مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ).
Kedua bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai pendukungnya tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih lagi baik. Sedangkan Az-Zamakhsyari lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat bacaan inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan karena firman-Nya
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)
قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ

Dan benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)
Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membacamalaka yaumidin (مَلَكَ يوم الدين) atas dasar anggapan fi’il, fa’il, dan maful, tetapi pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali.
Abu Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut— sesuatu yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah mendengar hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta Mu'awiyah dan anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din. Ibnu Syihab mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan (Ibnul Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca, sedangkan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.
Telah diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki yaumid din. Lafaz malikdiambil dari kata al-milku, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ

Sesungguhnya Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan. (Maryam: 40)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ

Katakanlah,  "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)
Sedangkan kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ

Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)
قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ

Benarlah perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala kekuasaan. (Al-An'am: 73)

الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ عَسِيراً
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)
Pengkhususan sebutan al-mulku (kerajaan) dengan yaumid din (hari pembalasan) tidak bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum mencakup di dunia dan akhirat. Di-mudaf-kan kepada lafaz yaumid din karena tiada seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun yang dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ

 إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً
Pada hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata. kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)
وَخَشَعَتِ الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً

dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Thaha: 108)
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ

 شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (Hud: 105)
Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid dinartinya "tiada seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat mereka (raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".
Ibnu Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab, yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balas-annya pun buruk, kecuali orang yang mendapat ampunan dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya, "Maliki yaumid din," ialah "Allah Mahakuasa untuk mengadakannya". Tetapi Ibnu Jarir sendiri menilai pendapat ini daif (lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat lainnya yang telah disebutkan terdahulu. Masing-masing orang yang berpendapat demikian dan yang sebelumnya mengakui kebenaran pendapat lainnya serta tidak mengingkari kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih sesuai bila diartikan dengan makna pertama di atas tadi dibandingkan dengan pendapat yang sekarang ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا

عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا}
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)
Sedangkan pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ}
Pada hari Dia mengatakan, "Jadilah!, lalu terjadilah. (Al-An'am: 73)
Pada hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)
Di dalam hadis Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. secara marfu’:
«أَخْنَعُ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ 

وَلَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ  »
Nama yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya dengan panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda
«يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ

 ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟

 أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ »
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana orang-orang yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?"
Di dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)
Adapun mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang dimaksud adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً
Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi raja kalian. (Al-Baqarah: 247)
وَكانَ وَراءَهُمْ مَلِكٌ
karena di hadapan mereka ada seorang raja. (Al-Kahfi: 79)
إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian sebagai raja-raja (orang-orang yang merdeka). (Al-Maidah: 20)
Di dalam sebuah hadis Sahihain disebutkan:
«مِثْلُ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»
seperti raja-raja yang berada di atas dipan-dipannya (singgasana).
Ad-din artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam firman lainnya, yaitu:
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)

أَإِنَّا لَمَدِينُونَ
apakah  sesungguhnya  kita  benar-benar  (akan  dibangkitkan) untuk diberi pembalasan? (Ash-Shaffat: 53)
Makna yang dimaksud ialah mendapat balasan yang setimpal dan dihisab.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»

Orang yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati.
Makna yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana yang dikatakan Khalifah Umar r.a.. yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian," seperti yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ
Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya). (Al-Haqqah: 18)


Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf yayang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:
فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ 

ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ
Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.
Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.
Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".
Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu.
Lafaz iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)
قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا

Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)
Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»

Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي

وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا

لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ

 لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي،

وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى

عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ

نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ

عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا

 الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ

عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»

Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.
Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah "Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami".
Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.
Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan".
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Swt.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.
Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang penyair mengatakan:
لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي

Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.
Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)
وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ

Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya (Al-Jin: 19)

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (Al-Isra: 1)
Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ.

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.
Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Swt., pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat karena Allah." Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.
Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:
أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
 إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»
"Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »